Mitos Seputar Gunung Kelimutu - Barno Suud

Situs Pribadi Barno Suud. Berisi Ilmu Pengetahuan (Knowledge), Planologi (Perencanaan Wilayah dan Kota), Teknik Lingkungan, GIS (Geographic Information System), Agama Islam, Lagu Islam, Sharing Perjuangan, Romance, Bisnis, Traveling, Jasa Pembuatan Peta Digital, Serta artikel bermanfaat lainnya.


Breaking

Home Top Ad

Jangan biarkan Rezeki & Ilmumu hanya untuk dirimu Sendiri . . . !!!

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Tuesday, June 22, 2021

Mitos Seputar Gunung Kelimutu

Danau Kelimutu di waktu sore hari ketika banyak kabut

Masyarakat suku Lio di Flores yang mendiami sekitar Kelimutu percaya bahwa danau kelimutu mempunyai aura mistis dimana merupakan tempat bersemayamannya jiwa-jiwa orang yang meninggal. Menurut masyarakat setempat, perubahan warna danau kelimutu mengundang bencana besar jika warga adat pemilik kelimutu sudah lama tidak melakukan ritual adat. Masyarakat sekitar kini juga mulai resah karena dinding tebing yang menjadi sekat kedua danau kawah terus terkikis dan sekarang kondisinya sudah tidak setebal dulu lagi. Jika suatu hari dinding tebing tersebut ambuk dan kedua kawah ini bercampur maka mereka yakin bahwa dunia juga akan berakhir. 

Tradisi ritual upacara adat masyarakat suku Lio yang mendiami sekitar kelimutu dinamakan Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata.  Tradisi acara adat ini diselenggarakan oleh masyarakat suku Lio untuk memberi makan arwah leluhur dengan maksud penghormatan kepadanya. Acara ini biasanya diselenggarakan  setiap  bulan Agustus di area dekat danau kelimutu yang dipercaya menjadi tempat bersemayamnya arwah para leluhur.


Acara ini dihadiri mosalaki (tokoh adat) dari 20 persekutuan adat desa-desa penyangga Kelimutu, yakni Koanara, Woloara, Pemo, Nuamuri, Mbuja, Tenda, Wiwipemo, Wologai, Saga, Puutuga, Sokoria, Roga, Ndito, Detusoko, Wolofeo, dan Kelikiku.

Suku Lio bersama para mosalaki (tokoh adat) mempersembahkan berbagai makanan dan minuman kepada para leluhur dalam bentuk sesajen sebagai tanda ungkapan rasa terima kasih atas berkat tahun lalu dan berdoa untuk mendapatkan berkat tahun selanjutnya. Dalam upacara adat tersebut masyarakat juga melakukan tari gawi secara masal sebagai ungkapan rasa syukur.

Pada prosesi adat ini para laki-laki menggunakan baju adat Lio, yaitu sarung yang disebut Ragi dan atasan batik. Sedangkan yang perempuan memakai baju adat yang disebut Lawo dan atasan baju kurung yang disebut Lambu.


Referensi  :
kelimutu.id
manusialembah.com



No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here