Meninggalkan Jum’atan 3 Kali Kafir? - Barno Suud

Situs Pribadi Barno Suud. Berisi Ilmu Pengetahuan (Knowledge), Planologi (Perencanaan Wilayah dan Kota), Teknik Lingkungan, GIS (Geographic Information System), Agama Islam, Lagu Islam, Sharing Perjuangan, Romance, Bisnis, Traveling, Jasa Pembuatan Peta Digital, Serta artikel bermanfaat lainnya.


Breaking

Home Top Ad

Jangan biarkan Rezeki & Ilmumu hanya untuk dirimu Sendiri . . . !!!

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Wednesday, April 01, 2020

Meninggalkan Jum’atan 3 Kali Kafir?

Oleh: KH. Muhammad Cholil Nafis, Lc.,MA., Ph.D


Foto KH. Muhammad Cholil Nafis, Lc.,MA., Ph.D ketika mengisi Pengajian di Sorong, Papua Barat 


Seringkali saat saya wawancara di TV atau radio banyak pertanyaan tentang hadits yang menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan jum’atan tiga kali berturut-turut jadi keras hatinya bahkan ada yg menyebut kafir dan wajib bersyahadat kembali. Benarkah? 
Saya penasaran pada kesimpulan itu, lalu saya mencari referensi, kira-kira hadits yang mana ya. Sebatas pencarian saya dalam kitab-kitab hadits maka saya temukan hadits riwayat Abu Daud, no. 1052, Tirmidzi, no. 500 dan Nasai, no. 1369 dari Abi Al-Ja'd r.a. Rasulullah saw. bersabda: 
‎مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ)
"Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali dengan meremehkannya, maka Allah tutup hatinya."

‎من ترك ثلاث جمع متواليات من غير عذر طبع الله على قلبه 
"Siapa yang meninggalkan jumatan 3 kali berturut-turut tanpa udzur, Allah akan mengunci mati hatinya." (HR. At-Thayalisi dalam Musnadnya 2548)

Hadits ini shahih namun pemaknaan tetap harus sesuai kaidah ilmu ushul fikih kalau ingin memetik hukum (istinbathul Ahkam) dari teks hadits ini. 
Pertama, hadits ini menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan jum’atan/ shalat Jum’at tiga kali berturut-turut karena meremehkan, bahkan dalam riwayat lain disebutkan bukan karena udzur. Artinya yang karena udzur dan bukan karena mengabaikan tidak termasuk dalam hadits ini. 
Karenanya, orang yang tak jum’atan itu boleh jadi karena udzur juga bisa karena malas bahkan mungkin tak percaya hukum kewajiban shalat Jum’at. 
Ulama fikih merinci hukumnya secara berbeda. Bagi yang karena udzur tentu boleh tak Jum’atan dan diganti dengan shalat dzuhur seperti karena sakit atau ketakutan. Dalam kasus Covid-19 bisa karena keduanya yaitu karena sakit bagi Pasien Dalam Pengawasan(PDP) dan takut menular bagi Orang Dalam Pamantauan (ODP) juga masyarakat yang takut tertular. 
Tak jum’atan karena malas atau meremehkan kewajiban shalat Jum’at hukumnya haram atau ma’siat kepada Allah. Nah, dalam hadits ini ancamannya bagi yang meninggalkan jum’atan tiga kali berturut-turut maka dicap oleh Allah sebagai munafik dan anti kebaikan sehingga tertutup hatinya dari menerima kebaikan. Akhirnya ia cenderung menolak terhadap ajakan kebaikan dan bahkan resah dari seruan baik dari agama. 
Jika meninggalkan shalat Jum’at karena inkar/tak percaya pada rukun Islam atau jewsjiban jum’atan maka tak perlu sampai tiga kali Jum’atan maka saat itu juga ia telah kufur kepada Allah dan keluar dari Islam. 
Nah, fatwa ulama se-Dunia yang membolehkan tidak shalat Jum’at dan ditetapkan oleh pemerintah DKI dan daerah merah Covid-19 tidak boleh shalat Jum’at itu bukan karena alasan masjid atau kewajiban shalat yang dilarang tapi untuk menghindari kerumunan banyak orang yang dikhawatirkan jadi arena penularan covid-19 yang membahayakan. Jadi larangan itu bukan shalat jum’atan atau jemaahnya tapi berkerumun banyak orang yang membahayakan. 

Dalam prinsip Hukum Islam: “Mencegah dari mafsadah/keburukan didahulukan daripada memperoleh kebaikan”. Sebab menurut dugaan kuat (ghalabatuzhzhan) virus itu menyebar kepada orang lain dengan cepat saat orang dalam kerumunan. Makanya shalat jum’at diliburkan dan diganti dengan shalat dzhuhur itu saddan lidzdzari’ah (langkah preventif) dari bahaya covid-19. 

Allah SWT tetap mencatat pahala jum’atan bagi orang yg sudah biasa shalat Jum’at tapi beberapa kali tidak melakukan karena udzur wabah Corona. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا 
“Rasulullah saw. bersabda: ‘Apabila seorang hamba sakit atau bepergian (safar), dicatat (amalannya) seperti apa yang dikerjakannya ketika dia bermukim dan sehat.’” (HR Bukhari) 



Ttd
M. Cholil Nafis



KH. Muhammad Cholil Nafis, Lc.,MA., Ph.D
adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Depok Jawa Barat dan Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Beliau merupakan seorang ulama yang sering mengisi acara di beberapa stasiun Televisi, dosen Pascasarjana di Universitas Indonesia dan Penulis.
Pendidikan Beliau S1 di Ibnu Sa’ud Islamic University (2000) bidang Syari’ah Perbandingan Mazhab dan Tarbiyah di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Az-Ziyadah Jakarta (2000). S2 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2003). Kemudian doktor (Ph.D) dari University of Malaya, Malaysia (2010). Beliau telah melakukan Visiting Student di Leeds University dan Visiting Scholar di Oxford University, Inggris, short course di National University of Singapore, post doctoral di Al Khamis University Rabat, Maroko.



Sumber :
https://cholilnafis.com/2020/04/02/meninggalkan-jumatan-3-kali-kafir/?fbclid=IwAR2-Kd4_fp-xJ2DeikaPbw6mAh9HtGfcsY3paqMn91UVFam17IQgSlSvduw
https://www.facebook.com/cholil.nafis.1/posts/10221832286099126

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here